Thursday, November 21, 2013

Biografi Dipa Nusantara Aidit (D.N Aidit) Part.1

Melebihi tokoh-tokoh Partai lainnya, Dipa Nusantara Aidit (D. N. Aidit) muncul sebagai seseorang yang paling bertanggungjawab dalam mengarahkan penerapan ideologi Marxisme-Leninisme dalam konteks kehidupan di Indonesia. Ia juga bertanggungjawab sepenuhnya atas berbagai tindakan yang ditempuh Partai Komunis Indonesia atau PKI (Periode 1948-1965) dalam rangka mengarahkan partai untuk mengambil cara-cara yang dipandang relevan untuk diambil, tentu saja dengan memperhitungkan ragam rintangan yang melintang.

Pemimpin muda PKI  ini sangat dinamis, berani, bergerak cepat, dengan daya tahan fisik dan mental luar biasa, bisa jadi sejumlah kawannya terkadang tertinggal dengan geraknya. Di samping itu ia pun tak lupa menekankan akan pentingnya kesabaran revolusioner dalam perjuangan jangka panjang.

Tetapi tak sedikit orang yang menilai Aidit punya sejumlah “cacat”, baik sebagai pribadi maupun sebagai “arsitek” PKI.  Apapun itu, Impian Aidit hanyalah menjadikan Indonesia yang sama rata sama rasa bagi seluruh rakyat, menjadikan masyarakat lebih baik, masyarakat tanpa kelas.

Siapakah Dipa Nusantara Aidit (D.N. Aidit) sebenarnya? Seorang panutan atau cuma penjahat yang mau mengubrak abrik Indonesia yang selama ini di gembar gemborkan? Tidak ada kesimpulan tunggal. Yang jelas, dalam suatu kesempatan, Aidit mengemukakan prinsip dan pilihan hidupnya kepada adiknya Murad. ”Kau tahu, aku memang tidak akan menjadi pahlawan keluarga. Pahlawan keluarga itu terlalu sederhana dan amat egois. Kita harus menjadi pahlawan bangsa.” Kita tahu, ucapan Aidit ini tak berujung sebagaimana yang ia harapkan. Ia tak akan pernah tercatat sebagai pahlawan.

Catatan ini “hanya” menceritakan semua kegiatan dan aktivitas Aidit dimasa hidupnya (terlepas dari kontroversinya), mulai dari lahir hingga ia meninggal dunia. Inilah sebuah biografi tentang salah satu tokoh Partai Komunis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit.


D.N.Aidit


Masa Kecil Aidit

Keluarga Terpandang
Lahir dari  keluarga  terpandang, Achmad Aidit lahir pada tanggal 30 Juli 1923 di Jalan Belantu  3,  Pangkal alang, Tanjung Pandan Pulau Belitung, Sumatera Selatan. Ayahnya,  Abdullah  Aidit,  adalah seorang mantan mantri  kehutanan,  jabatan yang  cukup  terpandang  di Belitung ketika itu. Ibunya, Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan Ki Agus Haji Abdul Rachman (Titel “Ki” pada nama itu mencirikan ningrat), seorang tuan tanah.

Abdullah  punya  delapan  anak.  Semua  lelaki.  Dari  perkawinan  dengan  Mailan,  lahir Achmad ,  Basri,  Ibrahim  (meninggal  dunia  ketika  dilahirkan)  dan  Murad.  Abdullah kemudian  menikah  lagi  dengan  Marisah (ibu tiri Achmad bersaudara) dan  melahirkan  Sobron  dan  Asahan.  Keenam anaknya itu menyandang  nama belakang Aidit (nama keluarga, namun bukan marga). Dua  anak  lainnya, Rosiah dan  Mohammad Thaib, adalah anak bawaan Marisah dengan suami sebelumnya.

Aidit masuk di sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), milik  pemerintah Belanda, setingkat Sekolah Dasar, juga merupakan sekolah paling tinggi di Belitung ketika itu. Aidit dikenal juga sebagai anak yang pintar.

Anak Yang Baik
Walau dididik di sekolah Belanda, keluarga Aidit tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah. Ayahnya adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung, pendiri Nurul Islam, organisasi  pendidikan Islam  dekat yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Aidit dan saudaranya belajar mengaji dengan pamannya,  Abdurrachman. Aidit bahkan khatam Al Qur’an sebanyak tiga kali dan dikenal juga sebagai tukang  adzan di kampungnya, karena suaranya keras.

Walaupun keluarga terpandang, secara ekonomi, keluarga Aidit hidup sederhana. Sebagai anak sulung, dia suka membantu keluarganya, misalnya dengan berjualan dari mulai kerupuk hingga buah nanas yang telah dikerat-kerat,  setiap ada pertandingan sepakbola di kampungnya. Suatu hari, adiknya Basri pernah ceroboh melepaskan 15 ekor itik dari  kandang milik keluarganya. Ayahnya yang mendengar kejadian ini marah besar. Aidit pun mengaku  dialah penyebab  kaburnya itik-itik itu, sehingga dia yang harus ke sana-kemari mencari itik itu.

Bergaul Dengan Banyak Kalangan
Aidit bergaul dengan siapa saja. Dia bergaul dari mulai kelas buruh sampai none - none Belanda. Berbagai macam  kelompok atau “geng” remaja di  Belitung  ia  dekati.  seperti  geng kampung, anak benteng (anak polisi), geng Tionghoa, dan geng Sekak (yaitu mereka  yang datang dari  keluarga  yang  sering  berpindah  tempat  tinggal, semacam kaum gypsy di Eropa).

Kepekaan Terhadap Lingkungan
Aidit  bergaul  dengan  buruh  - buruh tambang yang bekerja di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda. Sehingga ia tau tentang kehidupan mereka yang setiap hari selalu bekerja berlumur  lumpur,  bermandi  keringat,  dan  hidup  susah, sementara para meneer Belanda dan tuan-tuan nya dari Inggris berpesta hura-hura.

Aidit mempunyai kepekaan lebih tajam dibanding teman sebaya dan juga rasa empati terhadap sesama manusia apa yang terjadi di lingkungannya. Mungkin tambang  ini lah awal mula yang  menjadi  semangat  anti-Belanda dan perjuangan antikelas di kemudian hari. Pergaulan dengan kaum buruh itulah yang menentukan jalan pikiran dan sikap  politik  Aidit setelah  di  Jakarta.


Aidit Dan Keluarga

Awal Karir Aidit Di Jakarta

Merantau Ke Batavia
Awal tahun 1936, Setelah menyelesaikan sekolah di HIS, Achmad Aidit (13 tahun), meminta  izin kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolah setingkat SMP atau yang dikenal dengan  nama  Meer Uitgebreid  Lager  Onderwijs (MULO), di Batavia (Jakarta). Akhirnya ia pun pergi ke Batavia dengan ditemani pamannya, setelah memenuhi syarat – syarat umum untuk merantau, yaitu bisa  memasak  sendiri,  bisa  mencuci  pakaian  sendiri,  sudah disunat, dan sudah khatam mengaji.

Bakat Kepemimpinan dan Idealisme
Setibanya di Batavia tahun 1936, Aidit tinggal di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantri polisi,  di kawasan  Cempaka  Putih.  Sayangnya, pendaftaran  MULO  sudah ditutup ketika  Aidit  tiba, sehingga ia pun bersekolah di Middestand  Handel  School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Bakat kepemimpinan Aidit dan idealismenya langsung menonjol di antara  kawan  sebayanya. Misalnya saja,  Aidit  mengorganisasi  kawannya melakukan  bolos  massal  untuk  mengantar  jenazah  pejuang  kemerdekaan  Muhammad Husni  Thamrin,  yang  ketika  itu  akan  dimakamkan. Karena  terlalu aktif di  luar  sekolah, Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS.

Menambah Relasi dan Berorganisasi
Tahun 1939, Aidit lalu pindah dan indekos di di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Setelah itu adiknya Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk bersekolah di Jakarta. Hal Ini membuat Abdullah, ayah Aidit, keteteran untuk membiayai mereka. Aidit lalu  membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar bernama Antara di daerah Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan majalah.

Aidit kemudian berkongsi dengan teman satu kostannya, Mochtar, penjahit yang punya toko lumayan besar di Pasar Baru. Ditempat inilah Aidit mulai bergaul dengan para pemuda aktivis masa itu,  seperti  Adam Malik dan Chaerul Saleh, sehingga jaringan relasi Aidit meluas. Dengan bakat dan relasinya itu, Aidit langsung tertarik dengan dunia organisasi pergerakan, yang memang lagi ramai di Indonesia.

Tahun 1939 juga, Aidit bergabung dengan Persatuan Timur  Muda (PERTIMU). Pekumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo),  sebuah organisasai kepemudaan berhaluan “kiri” pimpinan Amir Syariffudin. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin menjadi-jadi.


Aidit Dan Asrama Menteng 31

Dari perkenalannya dengan dunia organisasi itulah, Aidit lalu  bergabung ke dalam kelompok Pemuda di jalan Menteng No. 31 Jakarta, yang dikenal dengan nama Menteng 31. Asrama ini dulunya hotel bernama Schomper I, namun setelah Belanda pergi dan Jepang datang ke Indonesia, tahun 1942 tempat itu terkenal sebagai  basecamp  para  pemuda aktivis “garis keras”.

Disini mereka di gembleng oleh para senior mereka seperti Bung Karno, Bung Hatta, Amir Syarifuddin, Ahmad Subarjo, Sunaryo dan Ki Hajar Dewantara. Bung Karno dan Bung Hatta Hatta  bahkan mengenal Aidit dengan baik sejak periode  awal  Angkatan  Baru  Indonesia  di  Asrama Menteng 31. Aidit juga banyak belajar dan terpilih untuk ikut kursus-kursus yang diadakan para pemuda Angkatan Indonesia Baru. Beragam diploma, piagam kursus bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, Ilmu Hitung Dagang, Mengetik Cepat hingga Stenografi, diperoleh Aidit dari kursus-kursus yang ditempuhnya.

Pada  tahun 1944, Aidit terpilih  masuk  Barisan  Pelopor  Indonesia, yaitu sayap pemuda  yang dibentuk oleh Jepang, yang bertugas menjaga keselamatan Soekarno dan Hatta. Pascakemerdekaan, organisasi ini dikenal dengan nama Barisan Benteng.


D.N.Aidit Dan Presiden Soekarno


Merubah Nama
Di  balik  karier  politiknya  yang  mulai  naik, Aidit  seperti  mencoba  menghilangkan bayang-bayang keluarga dan masa lalunya di Belitung. Misalnya saja ketika Murad berkali-kali meminta bantuan finansial, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan pernah berkata, bahwa persamaan  di  antara  mereka  hanyalah  faktor  kebetulan,  karena  dilahirkan  dari  ibu  dan bapak yang sama. ”Selebihnya, tak ada hubungan apa pun di antara kita,” katanya. Achmad Aidit  juga memutuskan  berganti  nama.  Dia  memilih memakai nama Dipa Nusantara Aidit, biasa disingkat D.N.

Menurut adiknya, pergantian nama itu lebih dipicu perhitungan politik Aidit. Dia mulai membaca risiko, karena sejak  namanya  berubah, tak  banyak  orang  yang  tahu  asal-usulnya. Proses perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa dengan segera menerima pergantian itu, sebelum akhirnya Abdullah menyerah.

Teman-temannya di Menteng 31 mengusulkan nama Dipa Nusantara, karena sudah terlalu banyak yang bernama Ahmad di kalangan pemuda Menteng 31 (Harsutejo, 2003). Dipa Nusantara sendiri dipakai Aidit untuk menghormati jasa pahlawan nasional Pangeran Diponegoro. Aidit berharap, penggunaan nama Dipa itu bisa menjadi inspirasi dan semangatnya untuk membebaskan Nusantara dari cengkeraman kolonialisme. Dia sering juga disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan D.N. di depan namanya adalah singkatan ”Djafar Nawawi.

Ada juga  versi dari adiknya Asahan. Bahwa perubahan nama sudah ada sejak dia dilahirkan. Sumber yang digunakan Asahan adalah sebuah akte kelahiran Aidit sendiri. Akte itu dibuat tahun 1923, tahun kelahiran Aidit, dan ditandatangani langsung oleh Bapaknya Abdullah Aidit. Asahan ingat betul, akte yang berhiaskan lukisan indah itu masih menggunakan bahasa Melayu agak kuno. Di akte itulah tertulis: “Anak dari Abdullah Aidit yang lahir pada 1923 yang saya beri nama Ahmad Aidit, bila dia telah menginjak usia dewasa akan menggunakan nama Dipa Nusantara Aidit”. Jadi jelas, tegas Asahan, nama Dipa Nusantara bukanlah ciptaan abangnya ketika ia udah di Batavia, melainkan nama yang memang diciptakan oleh ayahnya langsung.

Kelompok Kiri
Seiring dengan pergaulan di dunia organisasi, Aidit lalu terlibat dengan kelompok “kiri”. Ia memilih jalan komunis, karena dirasakan sesuai dengan idealismenya. Ia pun berguru ke tokoh-tokoh komunis senior seperti Widarta, penanggung  jawab  organisasi  bawah  tanah  PKI  Jakarta, dan Wikana, seorang pemuda sosialis dan pemimpin PKI Jawa Barat yang terkenal cerdas.  Ia pun banyak mempelajari  buku-buku  bertema  Marxisme  dan  sosialisme.

Sekitar tahun 1944, Aidit dan Wikana kian dekat setelah Laksamana Maeda, pimpinan Angkatan Laut Jepang di Indonesia,  mendirikan  sekolah  Dokuritsu Juku  (Asrama  Kemerdekaan), dan Wikana  menjadi  kepala  sekolah  tersebut, sedangkan Aidit menjadi  siswa. ”Meski  tak  menyelesaikan kuliah, pelajar  sekolah ini ikut  berperan dalam mendirikan  Republik” , ujar Nishijima,  salah  seorang  pengasuh  sekolah  ini“ (Tempo,  Agustus, 1987). Di sekolah inilah  diam-diam  Aidit,  Chalid  Rasjidi, dan  Salam membentuk  organisasi  semi-militer yang beraksi menyerang tentara-tentara Jepang dengan nama Banteng Merah. Dari sini, jiwa “merah” Aidit mulai semakin tumbuh.

Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa Rengas Dengklok adalah peristiwa penculikan Soekarno – Hatta pada hari Kamis  16 Agustus 1945 ke Rengasdengklok Karawang, oleh sekelompok pemuda (Menteng 31) yang dipimpin oleh Soekarni, untuk mendesak agar Soekarno – Hatta mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga dengan jasa para pemuda inilah Bung Karno dan Bung Hatta, akhirnya membacakan teks Proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di rumah Bung Karno di Jl.Pegangsaan Timur 56 Jakarta.

Ada beragam versi peran Aidit (22 tahun), tentang keterlibatan langsung dalam peristiwa ini. Ada yang menyebut Aidit memang ikut serta dalam rombongan pemuda, tapi  banyak juga rekaman sejarah yang tak menyebut keterlibatan Aidit dalam kejadian itu. Yang jelas pada saat itu, Aidit memang aktif bersama para pemuda anti-fasis di Menteng 31.


Aidit Dan Pasca Kemerdekaan

Melawan Jepang
Setelah  proklamasi  kemerdekaan,  pada  awal  September 1945,  aktivis  Menteng  31  membentuk Angkatan  Pemuda  Indonesia  (API), yang diketuai Wikana. Sementara Aidit menjadi Ketua API Jakarta Raya. Di  bidang keorganisasian mereka membentuk Barisan Rakyat yang mengorganisasi pada petani. API pun segera  menjadi “ancaman”  bagi  Jepang dan sekutu (yang datang kemudian) yang datang ke Indonesia.

Penjara Jatinegara dan Pulau Onrust
Pada tanggal 19 September 1945, di  lapangan Ikada (sekarang Monas ), API bersama barisan buruh dan tani mengadakan rapat raksasa dan aksi untuk menunjukkan dukungan rakyat kepada para  pimpinan  negara. Hal ini membuat  tentara  Jepang  marah dan merazia  Asrama Menteng  31.  Para  pemimpin API, termasuk Aidit, dimasukan ke dalam penjara di Jatinegara.

Aidit  dan  teman-teman  berhasil  menyogok  penjaga  penjara  dan  kabur. Sejak  itu aktivitas Menteng 31 berhenti. Aidit pun kembali ke jalan, memimpin API Jakarta dengan melakukan serangan-serangan ”kecil” kepada tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang datang membonceng sekutu pada 28 September 1945. Hampir setiap hari mereka menembaki patroli sekutu yang lewat, hingga akhirnya tentara sekutu meledakkan markas API. Puncaknya pada tanggal 5 November 1945, ketika Aidit memimpin sekelompok pemuda menyerbu  pos  pertahanan  Koninklijke  Nederlands  Indische  Lege  atau  Tentara  Kerajaan Hindia Belanda (tentara sekutu). Namun mereka kepergok tentara Inggris yang berpatroli. Sekitar 30 aktivis tertangkap, termasuk Aidit. Tentara Inggris menyerahkan  mereka ke Belanda, yang lalu membuang mereka ke Pulau Onrust, di gugusan Kepulauan Seribu, utara Jakarta.

Gondolayu, Yogyakarta
Aidit bebas tujuh bulan kemudian, Bulan Juni 1946, cuma sehari di Jakarta, dia lalu menyusul teman-temannya ke Yogyakarta (ibu kota sementara). Aidit bahkan sempat aktif di markas kelompok sayap kiri di bilangan Gondolayu, Yogyakarta, tempat para pemuda radikal memusatkan aktivitasnya.


Aidit Muda


Bersambung Ke Biografi Dipa Nusantara Aidit (D.N.Aidit) Part.2




9 comments:

  1. Fotonya hoax itu | mengguiring opini seakan Aidit mirip dengan pak Tito

    ReplyDelete
  2. Fotonya hoax itu | mengguiring opini seakan Aidit mirip dengan pak Tito

    ReplyDelete
  3. agak mirip sich..tapi bukan berarti memiliki tabiat yang sama. itu sih menurutku

    Sampean

    ReplyDelete
  4. Terimakasih atas materi pelajaran yang telah di bagikan..
    Sangat bermanfaat..

    ReplyDelete
  5. warna warni sejarah Indonesia... pun masa sekarang akan terkenang sebagai sejarah juga entah positif ataupun negatif.. salam kenal dari porosilmu.com :D

    ReplyDelete
  6. Terimakasih atas penjabaran terkait artikel diatas, semoga kedepannya bisa terus menambahkan artikel bermanfaat lainnya

    Materi Pelajaran

    Jgn lupa untuk mengunjungi artikel ini


    Sejarah Gerakan Non Blok Di Indonesia

    ReplyDelete